Selasa, 16 Juni 2009

Konflik yang terjadi di dalam masyarakat tidak boleh dibiarkan. Jika dibiaerkan kemungkinan akan terjadi tindak kekerasan atau hal-hal lain yang tidak dikehendaki terjadi dalam kehidupan masyarakat. Ada beberapa cara yang biasa digunakan sebagai upaya menyelesaikan konflik dalanm masyarakat. Uraian berikut ini menjelaskan hal tersebut.

Lembaga Perwakilan dan Pedampingan
Lembaga perwakilan seperti DPR, DPRD merupakan lembaga yang berfungsi menampung aspirasi masyarakat atau warga Negara. Melalui lembaga ini aspirasi masyarakat seharusnya da[pat disampaikan kepada pemerintah. Jika lembaga ini berfungsi dengan baik diharapkan konflik antara warga masyarakat dengan pemerintah dapat dihindari.
Konflik-konflik yang terjadi antara warga masyarakat dan pemerintah dapat menimbulkan tindakan brutal dan anarkis dengan merusak berbagai fasilitas umum yang ada. Guna mengatasi hal ini biasanya DPR maupun DPRD menjadi salah satu lembaga perwakilan rakyat digunakan sebagai lembaga yang menampung dan menjembatani kedua belah pihak yang berkonflik.
Lembaga lain yang bersifat pendampingan seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH ), BP4 ( Badan Pembantu Penyelesaian Persengketaan Perburuan) dan lembaga advokasi lainnya bertugas memberikan bantuan dan pendampingan kepada mereka yang memiliki perselisihan dengan pemerintah maupun orang lain agar mereka dapat mmemperoleh keadilan dan juga keputusan yang adil bagi mereka.
Lembaga advokasi inidisamping menyelesaikan permaslahan yang terjadi antara beberapa pihak yang berkonflik juga berupaya melindungi mereka dari ekploitasi maupun tindak kesewenang-wenangan dari pijhak lain yang lebih kuat atau lebih berkuasa; sehingga hak-hak mereka akan terlindungi.
Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pemberdayaan dan perlindungan perempuan, komisi anak dan lain sebagainya merupakan lembaga yang bersifat advokasi dan pedampingan ddan lembaga ini akan mencegah terjadinya konflik dan mencarikan jalan keluar penyelesaian konflik jika konflik terjadi

Akomodasi
Cara lain yang sering digunakan dalam penyelesaian konflik adalah melalui cara akomodasi. Akomodasi adalah upaya yang dilakukan untuk mempertemukan yang berkonflik guna menyelesaikan permaslahan yang ada. Ada bebrapa metode yang termasuk dalam akomodasi yang sering digunakan dalam penyelesaian konflik, metode tersebut adalah sebagai berikut.

Paksaan
Paksaan adalah upaya penyelesaian konflik dengan menggunakan kekuatan atau kekuasaan dan pengaruh, terutama terhadap mereka yang lebih lemah kedududukanya.
Pembersihan pedagang kaki lima di kota-kota besar biasanya diselesaikan dengan kekerasan atau paksaan. Mereka biasanya diperingatkan lebih dahulu untuk tidak berjualan dan membongkar tenda dan lapak yasng digunakan untuk berjualan. Pada hari yang sudah ditentukan mereka tidak mengindahkan peringatan tersebut dan akhirnya dibongkar paksa oleh Polisi Pamong Praja. Mereka biasanya melakukan perlawanan seadanya, dan biasanya sia-sia perlawanan mereka, karena mereka berada pada pihak yang salah dan lemah.

Kompromi
Kompromi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melakukan tawar menawar terhadap bentuk penyelesaian dari konflik tersebut. Kesepakatan mereka adalah hasil dari kompromi antara kedua belah pihak yang bersengketa.
Sengketa atas tanah dan rumah tinggal, dengan membayar ganti rugi sejumlah uang kepada pihak lain yang bersengketa dang anti rugi tersebut diterima dengan senaghati adalah bentuk kompromi yang dilakukan guna menyelesaikan konflik yang ada.

Arbitrasi
Jika kedua belah pihak yang berkonflik tidak dapat menyelesaikan sendiri permaslahan konfliknya dan membutuhkan bantuan pihak ketiga maka catra ini disebut sebagai arbitrasi. Pihak ketiga mencoba untuk mencarikan penyelesaian dari keduanya. Jika keduanya mencapai kata sepakat maka pihak ketiga berhasil dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
Arbitrasi bisa dilakukan oleh perwakilam dari kedua belah yang berkonflik, maupun oleh perseorangan yang memiliki kapasitas sebagai juru damai. Diplomasi yang dilakukan oleh Negara lain untuk mencegah terjadinya perang antara dua Negara dapat digolongkan dalam arbitrasi tersebut.

Mediasi
Seperti halnya arbitrasi, jika kedua belah pihak yang berkonflik tidak dapat menyelesaikan sendidri konfliknya, dan masing-masing bersikukuh sebagai pihak yang benar dan menyalahkan pihak yang lain, maka mediasi perlu dilakukan. Mediasi adalah upaya mendatangkan orang lain yang dapat memberikan nasihat pada keduanya agar tercapai kata sepakat.
Mediator tidak berpihak pada salah satu dari mereka yang berkonflik, melainkan berdiri netral diantara keduanya dan memberikan beberapa alternative jalan keluar dari konflik yang ada.
Mediator dapat berasal dari suatu lembaga yang berkepentingan dengan hal itu, maupun orang yang biasanya memiliki pengaruh atas mereka yang berkonflik.

Konsiliasi
Konsiliasi merupakan salah satu cara penyelesaian konflik agar tidak terjadi kerugian pada kedua belah pihak yang berkonflik. Misalnya konflik antara karyawan perusahaan dengan perusahaan dalam hal ini direksi. Konsiliasi dilakukan agar perusahaan tidak dirugikan dan buruh tidak dirumahkan. Perselisian yang ada misalnya menuntut kenaikan upah, sambil menunggu penyelesaian dari perusahaan mereka tetap bekerja dan perusahaan tetap memberikan gaji sesuai dengan gaji sebelumnya.
Karyawan melalukan tuntutan dan perusahaan memikitrkan karyawannya; sehingga konflik yang terjadi diantar keduanya dapat diselesaikan tanpa menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak.

Toleransi
Toleransi adalah upaya menyelesaikan konflik yang di dasarkan pada pemahaman mereka akan perbedaan yang terdapat pada mereka yang bermasalah. Kesadaran diri sendiri ini sebagai perwujudan dari perbedaan yang ada pada pihak lain. Misalnya dia seorang perokok, di dalam bis yang dia tumpangi bersama penumpang yang lain, mereka tidak merokok, bukan karena tidak punya rokok, melainkan mereka menyadari bahwa jika mereka merokok asapnya akan mengganggu seluruh penumpang bis tersebut.
Kesadaran untuk tidak merokok yang akan mengganggu orang lain tersebut adalah bentuk toleransi kepada mereka yang tidak merokok dan perokok tersebut menghjargai perbedaan dengan mereka yang tidak merokok.

Penghentian untuk sementara waktu
Istilah cooling down ( mendinginkan lebih dahulu) adalah salah satu bentuk penyelesaian konflik. Agar konflik tidak kemudian menjadi besar dan menimbulkan kekerasan biasanya dilakukan penundaan penyelesaian konflik tersebut. Dengan penundaan digharapkan emosi dari mereka yang berkonflik dapat dikurangi sehingga penyelesaian konflik tidak dengan emosi, melainkan dengan pikiran yang jernih.
Penundaan ini dimaksudkan memberikan kesempatan kepada mereka yang bersengketa untuk berfikir secara jernih dan mencari solusi dari konflik yang ada. Setek\lah mereka berfikir lebih jernih diharapkan konflik dapat diselesaikan dengan baik dan terhidarkan dari korban yang tidak diinginkan.
Kasus penggusuran pedagang kaki lima jika perlawanan sangat keras dari para pedagang, maka dapat dilakukan penundaan eksekusi lapk mereka. Misalnya diberi waktu satu minggu untuk membongkar lapak mereka sekaligus memindahkan baran dagangan mereka. Penundaan ini adalah upaya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan yaitu jatuhnya korban baik pada pihak pedagang maupun Polisi Pamomg Praja.

Penyelesaian di Pengadilan
Jika upaya-upaya penyelesaian konflik di artas tidak dapat diselesaikan melalui metode di atas, maka cara terkhir membawa permasalah tersebut ke pengadilan. Penyelesaian konflik akan dilakukan oleh lembaga pengadilan berdasarkan fakta dan bukti-bukti penyidikan yang ada.
Keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat mereka yang berkonflik, sehingga kedua belah pihak harus menerima dan menjalankan sesuai dengan keputusan pengadilan yang ada. Jika pada tingkat Pengadilah Negeri yang ada mereka belum puas atas putusan pengadilan, maka mereka berhak mengajukan banding ke tingkat yang lebih tinggi lagi.























Aspek Nilai



Fungsi Nilai
Fungsi utama dari nilai dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Nilai sebagai standar (Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994), fungsinya ialah:
Membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam social issues tertentu(Feather,1994).
Mempengaruhi individu untuk lebih menyukai ideologi politik tertentu dibanding ideologi politik yang lain.
Mengarahkan cara menampilkan diri pada orang lain.
Melakukan evaluasi dan membuat keputusan.
Mengarahkan tampilan tingkah laku membujuk dan mempengaruhi orang lain, memberitahu individu akan keyakinan, sikap, nilai dan tingkah laku individu lain yang berbeda, yang bisa diprotes dan dibantah, bisa dipengaruhi dan diubah.
2. Sistim nilai sebagai rencana umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan keputusan (Feather, 1995; Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994)Situasi tertentu secara tipikal akan mengaktivasi beberapa nilai dalam sistim nilai individu. Umumnya nilai-nilai yang teraktivasi adalah nilai-nilai yang dominan pada individu yang bersangkutan.
3. Fungsi motivasional Fungsi langsung dari nilai adalah mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar sehingga nilai dikatakan memiliki fungsi motivasional. Nilai dapat memotivisir individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994), memberi arah dan intensitas emosional tertentu terhadap tingkah laku (Schwartz, 1994). Hal ini didasari oleh teori yang menyatakan bahwa nilai juga merepresentasikan kebutuhan (termasuk secara biologis) dan keinginan, selain tuntutan sosial (Feather, 1994; Grube dkk., 1994).


Nilai Sebagai Keyakinan (Belief)
Dari definisinya, nilai adalah keyakinan (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994; Feather, 1994) sehingga pembahasan nilai sebagai keyakinan perlu untuk memahami keseluruhan teori nilai, terutama keterkaitannya dengan tingkah laku. Nilai itu sendiri merupakan keyakinan yang tergolong preskriptif atau proskriptif, yaitu beberapa cara atau akhir tindakan dinilai sebagai diinginkan atau tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan definisi dari Allport bahwa nilai adalah suatu keyakinan yang melandasi seseorang untuk bertindak berdasarkan pilihannya (dalam Rokeach, 1973). Robinson dkk. (1991) mengemukakan bahwa keyakinan, dalam konsep Rokeach, bukan hanya pemahaman dalam suatu skema konseptual, tapi juga predisposisi untuk bertingkah laku yang sesuai dengan perasaan terhadap obyek dari keyakinan tersebut.
Dalam Rokeach (1973) dikatakan, sebagai keyakinan, nilai memiliki aspek kognitif, afektif dan tingkah laku dengan penjelasan sebagai berikut:
1.Nilai meliputi kognisi tentang apa yang diinginkan, menjelaskan pengetahuan, opini dan pemikiran individu tentang apa yang diinginkan.
2.Nilai meliputi afektif, di mana individu atau kelompok memiliki emosi terhadap apa yang diinginkan, sehingga nilai menjelaskan perasaan individu atau kelompok terhadap apa yang diinginkan itu.
3.Nilai memiliki komponen tingkah laku, artinya nilai merupakan variabel yang berpengaruh dalam mengarahkan tingkah laku yang ditampilkan.


Pemahaman nilai sebagai keyakinan, tidak dapat dipisahkan dari model yang dikembangkan Rokeach pertama kali pada tahun 1968, yang disebut Belief System Theory (BST). Grube dkk. (1994) menjelaskan bahwa BST adalah organisasi dari teori yang menjelaskan dan mengerti bagaimana keyakinan dan tingkah laku saling berhubungan, serta dalam kondisi apa sistem keyakinan dapat dipertahankan atau diubah. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam BST, tingkah laku merupakan fungsi dari sikap, nilai dan konsep diri.


Menurut Grube, Mayton, II & Rokeach (1994), BST merupakan suatu kerangka berpikir yang berupaya menjelaskan adanya organisasi antara sikap (attitude), nilai (value), dan tingkah laku (behavior). Menurut teori ini, keyakinan dan tingkah laku saling berkaitan. Keyakinan-keyakinan yang dimiliki individu terorganisasi dalam suatu dimensi sentralitas atau dimensi derajat kepentingan. Suatu keyakinan yang lebih sentral akan memiliki implikasi dan konsekuensi yang besar terhadap keyakinan lain. Jadi perubahan suatu keyakinan yang lebih sentral akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap tingkah laku dibandingkan pada keyakinan-keyakinan lain yang lebih rendah sentralitasnya. Urutan keyakinan menurut derajat sentralitasnya adalah self-conceptions, value, dan attitude.
Sikap (attitude) adalah keyakinan yang menempati posisi periferal/tepi atau paling rendah sentralitasnya dalam BST. Sikap merupakan suatu organisasi dari keyakinan-keyakinan sehari-hari tentang obyek atau situasi. Jumlah sikap yang dimiliki individu dapat berhubungan dengan banyak obyek atau situasi yang berbeda-beda. Karenanya seseorang dapat memiliki sikap yang ribuan jumlahnya. Mengingat sikap adalah keyakinan yang periferal, maka perubahan sikap hanya memiliki pengaruh yang terbatas pada tingkah laku.
Nilai (value) adalah keyakinan berikutnya yang lebih sentral. Nilai melampaui suatu obyek dan situasi tertentu. Nilai memegang peranan penting karena merupakan representasi kognitif dari kebutuhan individu di satu sisi dan tuntutan sosial di sisi lain.
Konsep diri (self-conceptions) adalah keyakinan sentral dari BST. Menurut Rokeach (dalam Grube, Mayton, II & Rokeach, 1994) konsep diri adalah keseluruhan konsepsi individu tentang dirinya yang meliputi organisasi semua kognisi dan konotasi afektif yang berupaya menjawab pertanyaan "Siapa diri saya ini?". Semua keyakinan lain dan tingkah laku terorganisasi di sekeliling konsep diri dan berupaya menjaga konsep diri yang positif.
Jadi, perubahan pada satu komponen BST, akan menyebabkan perubahan pada komponen lain termasuk tingkah laku. Berbeda dengan sikap, nilai adalah keyakinan tunggal yang mengatasi obyek maupun situasi. Karenanya, perubahan nilai lebih dimungkinkan akan menyebabkan perubahan komponen lainnya dibandingkan yang lain.
Hubungan Nilai Dan Tingkah LakuDi dalam kehidupan manusia, nilai berperan sebagai standar yang mengarahkan tingkah laku. Nilai membimbing individu untuk memasuki suatu situasi dan bagaimana individu bertingkah laku dalam situasi tersebut (Rokeach, 1973; Kahle dalam Homer & Kahle, 1988). Nilai menjadi kriteria yang dipegang oleh individu dalam memilih dan memutuskan sesuatu (Williams dalam Homer & Kahle, 1988). Danandjaja (1985) mengemukakan bahwa nilai memberi arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laku seseorang, serta memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan pada setiap individu. Karenanya nilai berpengaruh pada tingkah laku sebagai dampak dari pembentukan sikap dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai merupakan faktor penentu dalam berbagai tingkah laku sosial (Rokeach, 1973; Danandjaja, 1985).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar